Surat 'Abasa
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى
2. Karena telah datang seorang buta kepadanya
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ
3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
4. atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ
6. Maka kamu melayaninya.
وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ
8. dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran)
وَهُوَ يَخْشَىٰ
9. Sedang ia takut kepada (Allah),
فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ
10. Maka kamu mengabaikannya.
كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ
11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ
12. Maka Barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ
13. Di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan
مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ
14. yang ditinggikan lagi disucikan,
بِأَيْدِي سَفَرَةٍ
15. Di tangan Para penulis (malaikat),
كِرَامٍ بَرَرَةٍ
16. Yang mulia lagi berbakti.
قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ
17. Binasalah manusia; Alangkah Amat sangat kekafirannya?
مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
18. dari Apakah Allah menciptakannya?
مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ
19. dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.
ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ
20. kemudian Dia memudahkan jalannya.
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
21. kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubuan.
ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ
22. kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.
كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ
23. Sekali-kali jangan! manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya,
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَىٰ طَعَامِهِ
24. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا
25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا
26. Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,
فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
27. lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
وَعِنَبًا وَقَضْبًا
28. Anggur dan sayur-sayuran,
وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا
29. Zaitun dan kurma,
وَحَدَائِقَ غُلْبًا
30. Kebun-kebun (yang) lebat,
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
31. dan buah-buahan serta rumput-rumputan,
مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
32. Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ
33. dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua),
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ
34. Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ
35. Dari ibu dan bapaknya,
وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ
36. dari istri dan anak-anaknya.
لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ
38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ
39. Tertawa dan bergembira ria,
وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ
40. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ
41. Dan ditutup lagi oleh kegelapan
أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ
42. Mereka Itulah orang-orang kafir lagi durhaka.
Kandungan Surat Abbasa
Ayat 1- 16 surat Abasa ini Allah membicarakan teguran-Nya terhadap Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas bahwa asbabun nuzul surat ini adalah sebagai teguran Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah mengabaikan kedatangan seorang tunanetra bernama Abdullah Ibn Ummi Maktum yang hendak meminta nasehat kepada Beliau. Nabi berpaling dari Abdullah karena sedang sibuk menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy Makkah yang salah seorang tokoh utamanya bernama Walid Bin Mughiroh. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan tentunya akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.
Penyebutan kata 'abasa (dhomir ghoib) yang tidak secara langsung menunjuk Nabi Saw., mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa Allah pun –dalam mendidik Nabi-Nya- tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut al-Biqa’i, mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. (Quraisy Shihab, 2002:71)
Kita sepakat bahwa kurang tepat bila memotong atau menginterupsi percakapan orang lain dan seseorang yang melakukan hal yang demikian akan dianggap kurang sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi S.a.w. maka hal itu sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Ummi Maktum adalah seseorang yang miskin dan buta yang melakukan pelanggaran terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi memandang tidak diharapkan bila Nabi mengabaikan orang semacam ini dan tetap berbicara dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat kepada orang miskin, maka penting untuk tidak membedakan mereka dalam majelis, bahkan si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya. Karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku kemanusiaan dengan akhlak mulia.
Ibnu Ummi Maktum, walaupun ia fakir dan buta mata tetapi ia tidak fakir iman dan buta hati. Ia lebih mampu memelihara diri dan mensucikannya dari dosa. Hatinya lebih tergugah dan terpanggil untuk tunduk kepada mauidhoh Allah dan Rasul-Nya. Adapun mereka yang bergelimang harta dan kekayaan, kebanyakan mereka adalah para pembangkang yang bodoh. Mereka tidak perlu didekati dan diperhatikan hanya karena mengharapkan mereka dan pengikutnya memeluk agama Islam. Dari sini, dapat dipetik suatu hikmah bahwa kekuatan manusia terletak pada kecerdasan nurani dan hatinya yang senantiasa hidup serta ketundukannya kepada kebenaran yang diyakininya. (Al-Maraghy, 1993: 72)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang yang diperlakukan Rasulullah Saw tidak semestinya itu ternyata memiliki kesucian hati yang penuh dengan cahaya keimanan kepada Allah Swt. Ia dapat mensucikan dirinya dengan peringatan dan nasehat yang diterimanya dari Rasulullah Saw sehingga suci dari segala dosa. Karenanya peringatan dan nasehat Rasulullah kepadanya benar-benar bermanfaat bila dibandingkan dengan para pembesar Quraisy yang belum pasti dapat menerima ajakan Rasulullah SAW. Di sini Allah juga menegaskan bahwa apa yang ada dalam hati seseorang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT .(Al-Biqa’I, 1992:251)
Atas teguran Allah dalam surat ini Rasul Saw akhirnya menggugurkan timbangan sosial yang ada di Arab pada waktu itu, yaitu penilaian berdasarkan kasta. Rasulullah menikahkan putrid bibu beliau, Zainab binti Jahsy Al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang bernama Zaid bin Haritsah, walaupun masalah perkawinan sangat sensitif saat itu. Rasul juga mempersatukan Salman Al-Farisi yang bukan berbangsa Arab dengan jamaah Islam sampai mengikis rasisme kulit.
Ayat-ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap orang-orang yang berpaling dari petunjuk, tidak mau beriman, dan menyombongi dakwah ke jalan Tuhannya. Segmen ini menunjukkan keheranan terhadap sikap orang itu dan kekafirannya, yang tidak mau mengingat sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya. Juga yang tidak mau memperhatikan pemeliharaan dan perlindungan Allah kepada dirinya dalam setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sejak pertama hingga terakhir dan tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap Penciptanya, Penjaminnya, dan Penghisabnya.
Artinya: “Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani Allah menciptakannya dan menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Lalu, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Apabila Dia menghendaki,Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.”(‘Abasa: 17-23)
Kelompok ayat iini berbicara tentang keniscayaan hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadapnya. Mereka mengingkari itu pastilah enggan memerhatikan al-Qur’an yang sifatnya demikian agung, sebagaimana diuraikan sebelum ayat-ayat diatas, karena sungguh binasalah manusia yang durhaka, alangkah amat sangat besar kekafirannya. Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantab serta terjadi kapan dan dimana saja. Apakah yang membuatnya ingkar? Mengapa ia enggan percaya keniscayaan kiamat? Tidakkah ia berfikir dari apakah Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung saja dijawab, dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat menjijikkan.
Dari sesuatu yang tidak ada harganya sama sekali, dari bahan pokok yang tidak ada nilainya. Akan tetapi, Penciptanyalah yang menentukannya dengan menciptakan dan mengaturnya. Dia menentukannya dengan memberinya harga dan nilai, menjadikannya makhluk yang sempurna, dan menjadikannya makhluk yang mulia, serta mengangkatnya dari asal-usul yang hina dan rendah ke tempat dan kedudukan tinggi yang untuknyalah bumi dengan segala sesuatunya diciptakan. Direntangkan untuknya jalan kehidupan, atau dibentangkan untuknya jalan petunjuk, dan dimudahkan baginya untuk menempuhnya dengan peralatan-peralatan dan potensi-potensi yang diberikan-Nya, baik untuk menempuh kehidupan maupun menempuh hidayah tersebut.
Hingga apabila perjalanan hidup sudah berakhir, maka selesailah kehidupan dan aktivitasnya sebagaimana yang dialami oleh semua makhluk hidup, tanpa ada pilihan lain dan tanpa dapat menghindar.
Maka, urusan kesudahannya ini seperti urusannya dalam permulaannya, berada di tangan Dzat yang telah mengeluarkannya kepada kehidupan dan menyudahi kehidupannya manakala Dia menghendaki. Juga menjadikan tempat tinggalnya di perut bumi, sebagai penghormatan baginya dan untuk memeliharanya. Dia tidak menyunnahkan untuk membiarkan tubuhnya dan anggota-anggotanya berserakan di muka bumi. Bahkan, Dia menjadikan insting manusia berkeinginan menutup dan mengubur mayat. Maka, semua ini termasuk pengaturan dan penataan-Nya. Sehingga, apabila telah tiba waktu yang dikehendaki-Nya, maka dikembalikanlah manusia itu kepada kehidupan untuk menghadapi urusan yang dikehendaki-Nya.
Artinya: “Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak-anaknya; maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 33-42)
Kata “as-shaakhkhah” (الصَّاخَّةُ) adalah lafal yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Bunyi yang sangat keras ini sebagai pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya.
Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan-jalinannya. Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, ’nafsi-nafsi’ terfokus pada dirinya sendiri’, menakutkan diri yang bersangkutan, memisahkannya dari segala sesuatu yang melingkupinya, dan menekannya dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak meninggalkan orang yang memiliki kelebihan dalam pemikiran dan usaha.
Begitulah keadaan semua makhluk pada hari yang sangat menakutkan itu, ketika telah tiba suara yang memekakkan. Kemudian dilukiskanlah keadaan orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka dinilai dan ditimbang dengan timbangan Allah di sana.
‘Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS. ‘Abasa: 38-39)
Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-binar, tertawa-tawa, bergembira-ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena merasakan keridhaan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari bencana suara yang memekakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.
Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir surah. Bagian permulaan menetapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir menetapkan basil timbangan. Terasa pulalah kemandirian surah yang pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya Dengan semua ini, sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut dan penyesalan, dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan pembalasan yang dinantikannya.
”Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka “.
Yang tidak mau beriman kepada Allah dan risalah-risalah-Nya, melanggar batas-batas-Nya, dan merusak apa-apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari celah-celah lafal dan kalimat Al-Qur’an yang diungkapkan ini. Seakan-akan wajah-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena kuatnya pengungkapan Al-Qur’an dan lembutnya sentuhannya.
Ayat 1- 16 surat Abasa ini Allah membicarakan teguran-Nya terhadap Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas bahwa asbabun nuzul surat ini adalah sebagai teguran Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah mengabaikan kedatangan seorang tunanetra bernama Abdullah Ibn Ummi Maktum yang hendak meminta nasehat kepada Beliau. Nabi berpaling dari Abdullah karena sedang sibuk menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy Makkah yang salah seorang tokoh utamanya bernama Walid Bin Mughiroh. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan tentunya akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.
Penyebutan kata 'abasa (dhomir ghoib) yang tidak secara langsung menunjuk Nabi Saw., mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa Allah pun –dalam mendidik Nabi-Nya- tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut al-Biqa’i, mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. (Quraisy Shihab, 2002:71)
Kita sepakat bahwa kurang tepat bila memotong atau menginterupsi percakapan orang lain dan seseorang yang melakukan hal yang demikian akan dianggap kurang sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi S.a.w. maka hal itu sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Ummi Maktum adalah seseorang yang miskin dan buta yang melakukan pelanggaran terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi memandang tidak diharapkan bila Nabi mengabaikan orang semacam ini dan tetap berbicara dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat kepada orang miskin, maka penting untuk tidak membedakan mereka dalam majelis, bahkan si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya. Karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku kemanusiaan dengan akhlak mulia.
Ibnu Ummi Maktum, walaupun ia fakir dan buta mata tetapi ia tidak fakir iman dan buta hati. Ia lebih mampu memelihara diri dan mensucikannya dari dosa. Hatinya lebih tergugah dan terpanggil untuk tunduk kepada mauidhoh Allah dan Rasul-Nya. Adapun mereka yang bergelimang harta dan kekayaan, kebanyakan mereka adalah para pembangkang yang bodoh. Mereka tidak perlu didekati dan diperhatikan hanya karena mengharapkan mereka dan pengikutnya memeluk agama Islam. Dari sini, dapat dipetik suatu hikmah bahwa kekuatan manusia terletak pada kecerdasan nurani dan hatinya yang senantiasa hidup serta ketundukannya kepada kebenaran yang diyakininya. (Al-Maraghy, 1993: 72)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang yang diperlakukan Rasulullah Saw tidak semestinya itu ternyata memiliki kesucian hati yang penuh dengan cahaya keimanan kepada Allah Swt. Ia dapat mensucikan dirinya dengan peringatan dan nasehat yang diterimanya dari Rasulullah Saw sehingga suci dari segala dosa. Karenanya peringatan dan nasehat Rasulullah kepadanya benar-benar bermanfaat bila dibandingkan dengan para pembesar Quraisy yang belum pasti dapat menerima ajakan Rasulullah SAW. Di sini Allah juga menegaskan bahwa apa yang ada dalam hati seseorang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT .(Al-Biqa’I, 1992:251)
Atas teguran Allah dalam surat ini Rasul Saw akhirnya menggugurkan timbangan sosial yang ada di Arab pada waktu itu, yaitu penilaian berdasarkan kasta. Rasulullah menikahkan putrid bibu beliau, Zainab binti Jahsy Al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang bernama Zaid bin Haritsah, walaupun masalah perkawinan sangat sensitif saat itu. Rasul juga mempersatukan Salman Al-Farisi yang bukan berbangsa Arab dengan jamaah Islam sampai mengikis rasisme kulit.
Ayat-ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap orang-orang yang berpaling dari petunjuk, tidak mau beriman, dan menyombongi dakwah ke jalan Tuhannya. Segmen ini menunjukkan keheranan terhadap sikap orang itu dan kekafirannya, yang tidak mau mengingat sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya. Juga yang tidak mau memperhatikan pemeliharaan dan perlindungan Allah kepada dirinya dalam setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sejak pertama hingga terakhir dan tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap Penciptanya, Penjaminnya, dan Penghisabnya.
Artinya: “Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani Allah menciptakannya dan menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Lalu, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Apabila Dia menghendaki,Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.”(‘Abasa: 17-23)
Kelompok ayat iini berbicara tentang keniscayaan hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadapnya. Mereka mengingkari itu pastilah enggan memerhatikan al-Qur’an yang sifatnya demikian agung, sebagaimana diuraikan sebelum ayat-ayat diatas, karena sungguh binasalah manusia yang durhaka, alangkah amat sangat besar kekafirannya. Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantab serta terjadi kapan dan dimana saja. Apakah yang membuatnya ingkar? Mengapa ia enggan percaya keniscayaan kiamat? Tidakkah ia berfikir dari apakah Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung saja dijawab, dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat menjijikkan.
Dari sesuatu yang tidak ada harganya sama sekali, dari bahan pokok yang tidak ada nilainya. Akan tetapi, Penciptanyalah yang menentukannya dengan menciptakan dan mengaturnya. Dia menentukannya dengan memberinya harga dan nilai, menjadikannya makhluk yang sempurna, dan menjadikannya makhluk yang mulia, serta mengangkatnya dari asal-usul yang hina dan rendah ke tempat dan kedudukan tinggi yang untuknyalah bumi dengan segala sesuatunya diciptakan. Direntangkan untuknya jalan kehidupan, atau dibentangkan untuknya jalan petunjuk, dan dimudahkan baginya untuk menempuhnya dengan peralatan-peralatan dan potensi-potensi yang diberikan-Nya, baik untuk menempuh kehidupan maupun menempuh hidayah tersebut.
Hingga apabila perjalanan hidup sudah berakhir, maka selesailah kehidupan dan aktivitasnya sebagaimana yang dialami oleh semua makhluk hidup, tanpa ada pilihan lain dan tanpa dapat menghindar.
Maka, urusan kesudahannya ini seperti urusannya dalam permulaannya, berada di tangan Dzat yang telah mengeluarkannya kepada kehidupan dan menyudahi kehidupannya manakala Dia menghendaki. Juga menjadikan tempat tinggalnya di perut bumi, sebagai penghormatan baginya dan untuk memeliharanya. Dia tidak menyunnahkan untuk membiarkan tubuhnya dan anggota-anggotanya berserakan di muka bumi. Bahkan, Dia menjadikan insting manusia berkeinginan menutup dan mengubur mayat. Maka, semua ini termasuk pengaturan dan penataan-Nya. Sehingga, apabila telah tiba waktu yang dikehendaki-Nya, maka dikembalikanlah manusia itu kepada kehidupan untuk menghadapi urusan yang dikehendaki-Nya.
Artinya: “Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak-anaknya; maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 33-42)
Kata “as-shaakhkhah” (الصَّاخَّةُ) adalah lafal yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Bunyi yang sangat keras ini sebagai pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya.
Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan-jalinannya. Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, ’nafsi-nafsi’ terfokus pada dirinya sendiri’, menakutkan diri yang bersangkutan, memisahkannya dari segala sesuatu yang melingkupinya, dan menekannya dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak meninggalkan orang yang memiliki kelebihan dalam pemikiran dan usaha.
Begitulah keadaan semua makhluk pada hari yang sangat menakutkan itu, ketika telah tiba suara yang memekakkan. Kemudian dilukiskanlah keadaan orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka dinilai dan ditimbang dengan timbangan Allah di sana.
‘Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS. ‘Abasa: 38-39)
Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-binar, tertawa-tawa, bergembira-ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena merasakan keridhaan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari bencana suara yang memekakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.
Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir surah. Bagian permulaan menetapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir menetapkan basil timbangan. Terasa pulalah kemandirian surah yang pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya Dengan semua ini, sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut dan penyesalan, dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan pembalasan yang dinantikannya.
”Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka “.
Yang tidak mau beriman kepada Allah dan risalah-risalah-Nya, melanggar batas-batas-Nya, dan merusak apa-apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari celah-celah lafal dan kalimat Al-Qur’an yang diungkapkan ini. Seakan-akan wajah-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena kuatnya pengungkapan Al-Qur’an dan lembutnya sentuhannya.
(‘Abasa: 1-10)
Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam, lalu Rasulullah SAW bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
Yaitu pembesar-pembesar Quraisy yang sedang dihadapi Rasulullah SAW yang diharapkannya dapat masuk Islam. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim, yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la yang bersumber dari Anas bahwa Firman Allah. ‘Abasa wa tawallaa (Dia [Muhammad] bermuka masam dan berpaling0 turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum, seorang buta yang datang kepada Nabi Muhammad saw seraya berkata: “Berilah aku petunjuk yang Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah saw sedang menghadapi para embesar kaum musyrikin Quraisy. Beliau berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan tetap menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ibnu Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakana ini mengganggu tuan ?” Rasulullah saw menjawab: “Tidak.” Ayat-ayat ini (‘Abasa: 1-10) turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saw itu. (‘Abasa: 17)
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa ayat ini (‘Abasa:17) turun berkenaan dengan ‘Utbah bin Abi Lahab yang berkata: “Aku kufur kepada Rabb bintang.” Ayat ini menegaskan bahwa manusia akan celaka karena kekufurannya.
Surat At-Takwiir
بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
1. Apabila matahari digulung,
وَإِذَا النُّجُومُ انكَدَرَتْ
2. Dan apabila bintang-bintang berjatuhan,
وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ
3. dan apabila gunung-gunung dihancurkan,
وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ
4. Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan)
وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ
5. Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan,
وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ
6. Dan apabila lautan dijadikan meluap,
وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ
7. Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
8. Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ
9. Karena dosa Apakah Dia dibunuh,
وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ
10. Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka,
وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ
11. dan apabila langit dilenyapkan,
وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ
12. dan apabila neraka Jahim dinyalakan,
وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ
13. dan apabila syurga didekatkan,
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ
14. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.
فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ
15. Sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang,
الْجَوَارِ الْكُنَّسِ
16. Yang beredar dan terbenam,
وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ
17. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya,
وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ
18. Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing,
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
19. Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril),
ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ
20. Yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy,
مُّطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ
21. Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.
وَمَا صَاحِبُكُم بِمَجْنُونٍ
22. dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.
وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ
23. dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.
عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
24. dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَّجِيمٍ
25. dan Al Qur'aan itu bukanlah Perkataan syaitan yang terkutuk,
فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ
26. Maka ke manakah kamu akan pergi?
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ
27. Al Qur'aan itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam,
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
29. dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.
Kandungan Surat At-Takwir
Surat takwir ini adalah termasuk surat yang menggambarkan tentang hari qiyamat, hal ini tertera pada ayat 1 sampai dengan ayat 14. Dimana Allah menggambarkan didalamnya bahwa dihari qiyamat kelak akan dilipat dan digulunglah matahari. Dalam kitab Al-Hidayah tafsir juz’amma, A. Hasan menerangkan maksud digulungnya matahari adalah tidak dicahayakan lagi. Lalu dilemparkanlah matahari itu, bintang – bintang akan berjatuhan, gunung – gunung akan dihancurkan hingga menjadi pasir yang berhamburan bagai bulu yang beterbangan, unta – unta bunting akan ditinggalkan dan tidak dihiraukan lagi oleh pemiliknya ( unta bunting adalah harta orang arab yang paling berharga ), binatang – binatang liar akan dikumpulkan jadi satu, lalai dengan huru – hara hari Qiamat, hingga lupa kepada permusuhan antara satu dengan yang lain, lautan akan dinyalakan hingga menjadi api yang menyala, ruh – ruh akan dipertemukan dengan yang sejenisnya, yang baik dengan yang baik begitu juga sebaliknya, Bersumber dari Nu’man, bahwa Umar pernah ditanya tentang maksud dari ayat ini, maka dia menjawab, bahwa seorang lelaki yang shalih akan dikelompokkan dengan yang shalih begitu juga sebaliknya lelaki yang jahat akan dikumpulkan dengan yang jahat dan itu adalah maksud didipertemukannya ruh – ruh.. Bayi – bayi perempuan yang dikubur hidup – hidup akan ditanya tentang sebab apa mereka dibunuh, catatan – catatan amal akan dibentangkan untuk diperiksa, langit akan dilenyapkan yang bearti tidak ada lagi yang namanya langit, neraka jahim akan dinyalakan untuk membakar pendurhaka, surga akan didekatkan kepada calon penghuninya. Maka kalau sudah kejadian sekalian yang tersebut diatas, barulah manusia mengetahui apa yang sudah dikerjakannya dari amal yang baik dan yang jahat.
Pada ayat – ayat berikutnya, Allah bersumpah dengan bintang – bintang yang selalu beredar akan kelihatan sesudah terbenam beberapa lama, dimana masa antara kelihatan dan hilangnya bervariasa,diantaranya ada yang kelihatan setelah hilang beberapa hari, ada yang beberapa bulan sampai ada yang beratusan tahun dan bahkan lebih, dan malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing, yang berarti bumi ini adalah satu daripada bintang – bintang kecil yang mudah hancur apabila Allah gugurkan atasnya daripada bintang – bintang yang besar beribu atau bermiliun kali bumi ini.
Hal diatas menunjukkan bahwa khabara diatas bukan dari rekaan dan bikinan nabi Muhammad. Dan bahwasanya Al-Qur’an adalah benar – benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Malaikat Jibril adalah malaikat yang mulia, mempunyai kekuatan dan kedudukan yang tinggi, ditaati oleh para malaikat yang lain serta lagi dipercaya. Dia tidak akan menambah apa yang Allah perintahkan kepadanya, tidak menguranginya dan tidak melebihi batasan yang telah digariskan.Ini semua menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu mulia disisi Allah, dimana Allah mengutus malaikat Jibril yang sifat – sifatnya seperti diatas untuk membawa Al-Qur’an. Sudah menjadi kebiasaan para raja – raja, mereka tidak akan mengutus utusannya yang mulia lagi terbaik kecuali urusan yang sangat penting lagi mulia. Setelah Allah menyebutkan keutamaan malaikat Jibril yang membawa Al-Qur’an, Dia menyebutkan keutamaan Rasulullah yang turun kepadanya Al-Qur’an dan menyatakan kepada manusia bahwa Muhammad itu orang yang paling sempurna pikirannya, paling baik pandangannya dan paling benar gaya bahasanya, bukan seorang yang gila seperti apa yang dikatakan oleh musuh-musuhnya yang mendustakan ajarannya. Mereka menginginkan untuk memadamkan ajarannya dengan perkataan tersebut. Rasulullah pernah melihat malaikat Jibril pada ufuk yang jelas dengan wujud aslinya, dimana Jibril mempunyai 600 sayap. Beliau tidak pelit akan ajarannya, tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyembunyikan. Bahkan beliau adalah orang yang terpercaya dikalangan penduduk langit dan bumi. Beliau tidaklah meninggal sebelum umatnya paham ajaran islam.
Setelah Allah menyebutkan kemuliaan yang ada pada dua utusan-Nya, malaikat Jibril dan Nabi Muhammad, Dia menyatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah perkatan syetan yang terkutuk, tapi Al-Qur’an adalah peringatan dari Allah untuk alam semesta. Ibnu Katsir menerangkan bahwa Al-Qur’an adalah peringatan untuk manusia yang mereka dapat mendapatkan peringatan dan nasihat darinya. Dengan melaksanakan isi Al-Qur’an akan diperoleh maslahat/kebaikan di dunia dan di akhirat dan diperoleh kebahagiaan pada keduanya. Itu tentunya bagi orang yang mau menempuh jalan yang lurus. Dalam Tafsir Al-Baidhowi dijelaskan bahwa jalan yang lurus adalah jalan orang – orang yang Allah beri ni’amat atas mereka dari para nabi, para pembenar kebenaran, para syuhada dan para sholihin. Tetapi manusia tidak dapat menempuh jalan itu, kecuali Allah menghendakinya. Ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah bantahan terhadap golongan qodariyah dan jabariyah. Dimana sebagian mereka meyakini bahwa manusialah yang dapat menentukan bahagia dan sengsaranya. Dan sebagian yang lain menganggap bahwa manusia itu tidak memiliki peran dalam hidupnya, dimana mereka hanya menjalankan takdir Allah semata. Bekata Sufyan Assauri dari Sa’id Bin Abdul Aziz dari Sulaiman Bin Musa : Tatkala turun ayat ini berkatalah Abu Jahal : urusannya ( menempuh jalan yang lurus ) kembali kepada kita, jika kita berkehendak, kita tempuh jalan itu dan jika kita tidak berkehendak kita tidak menempuhnya. Lalu turunlah ayat ini sebagai penjelasan bahwa semuanya itu berada pada kehendak Allah. Apa yang Allah kehendaki itu pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi. Didalam tafsir al’usyril akhir minal Qur’anil Karim min kitab zubadatittafsir, dan tidaklah kalian mampu istiqomah ( menempuh jalan itu ) kecuali dengan kehendak dan taufiq Allah.
Asbabun Nuzul Surat At Takwir
Surah at-Takwir terdiri dari 29 ayat. Kata 'at-Takwir, yang berarti 'Digulung', diambil dari ayat pertama. Ayat-ayat surah ini disepakati turun keseluruhannya sebelum Nabi berhijrah ke Madinah, yakni Makkiyyah. Namanya yang populer adalah surah at-Takwir. Ini terambil dari kata kuwwirat yang disebut pada ayat pertamanya. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Sunan at-Tirmidzi, penafsiran kedua ulama itu terhadap ayat-ayat surah ini mereka letakkan di bawah judul surah Idza asy-Syamsu Kuwwirat.
Memang, tidak ditemukan riwayat yang bersumber dari Nabi saw. yang menjelaskan nama surah ini. Dalam Sunan at-Tirmidzi dan Ahmad melalui sahabat Nabi saw, Ibn 'Umar ra., ditemukan bahwa Nabi saw bersabda: "Siapa yang ingin melihat Hari Kiamat bagaikan melihatnya dengan pandangan mata kepala, hendaklah dia membaca Idza asy-Syamsu Kuwwirat, dan Idza as-Sama' Infatharat, dan Idza as-Sama' Insyaqqat.
Tujuan utama surah ini —sebagaimana terbaca dari ayat-ayatnya dan dari sabda Nabi di atas— adalah uraian tentang Hari Kiamat dan balasan yang akan diterima masing-masing orang. Al-Biqa'i menulis bahwa tujuan utama surah ini adalah ancaman keras atas siksa yang bakal terjadi di Hari Kiamat —hari tibanya makhluk di tempat tujuan terakhir.
Ancaman itu ditujukan kepada siapa pun yang mengingkari kebenaran al-Qur'an yang merupakan peringatan, dan yang tertulis di lembaran-lembaran yang dimuliakan, ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis, utusan serta duta Allah (baca surah yang lalu, QS. 'Abasa (80): 13-16). Ia disampaikan oleh utusan yang mulia, yakni malaikat Jibril, yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik 'Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat), lagi dipercaya (baca ayat-ayat 19-21 surah ini).
Namanya at-Takwir (penggulungan matahari) merupakan petunjuk yang jelas tentang tujuan utama itu bagi yang memerhatikan kandungan ayat-ayatnya yang menjelaskan tentang balasan sekaligus keagungan al-Qur'an. Demikian lebih kurang al-Biqa'i.
Surah ini merupakan surah ke-7 yang diterima Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah turunnya surah al-Fâtihah dan sebelum surah al-A'la (Sabbihisma). Jumlah ayat-ayatnya 29 ayat.
Akhir surah yang lalu ('Abasa) ditutup dengan ancaman kepada kaum kafir dan pendurhaka tentang akan datangnya Kiamat dan siksa Allah. Surah ini dimulai dengan uraian tentang Kiamat itu dan memberi gambaran yang demikian jelas tentang kejadiannya.
Ayat-ayat di atas menyebut enam hal luar biasa yang berbeda dengan apa yang selama ini dikenal dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
1. Matahari digulung dengan sangat mudah.
2. Bintang-bintang berjatuhan dengan sendirinya atau pudar cahayanya.
3. Gunung-gunung digerakkan dari tempatnya.
4. Unta-unta yang mengandung di bulannya yang kesepuluh, yakni harta yang paling disukai, ditinggalkan.
5. Binatang-binatang buas dan liar dikumpulkan.
6. Samudera dipanaskan, atau dimunculkan panasnya, sehingga menjadi lautan api.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-6
Menjelang terjadinya Kiamat, Allah membatalkan sistem yang selama ini dijadikan-Nya pengatur tata kerja alam raya. Hukum-hukum yang mengaturnya tidak berfungsi sehingga bintang-bintang berjatuhan/bertabrakan dan pudar cahayanya.
Matahari boleh jadi tidak lagi memberi kehangatan dan semua makhluk di bumi kedinginan dan membeku, atau justru sebaliknya memancarkan panas yang sangat terik sehingga menjadikan semua unsure yang membentuk matahari menjadi gas-gas yang menyala. Manusia sibuk menyelamatkan diri sehingga tidak memedulikan selain keselamatannya.
Bahkan binatang buas pun ketakutan, sehingga menjadi tidak buas atau tidak lagi saling mengancam sebagaimana yang terjadi selama ini. Mereka berkumpul di satu tempat—setelah keluar dari hutan/sarang-sarangnya. Oksigen dan Hidrogen yang merupakan unsur-unsur kejadian air (samudra) boleh jadi dipisahkan sehingga melahirkan ledakan-ledakan dahsyat.
Surah Al-infitar
بِسْمِ اللَّـهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ
1. Apabila langit terbelah,
وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ
2. Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,
وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
3. Dan apabila lautan menjadikan meluap,
وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ
4. Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
5. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya
يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
6. Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
7. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,
فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
8. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.
كَلا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ
9. Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ
10. Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),
كِرَامًا كَاتِبِينَ
11. Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu)
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُون
12. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ
13. Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan,
وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
14. dan Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.
يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ
15. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.
وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ
16. Dan mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu.
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّين
17. tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu,?
ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
18. sekali lagi, tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?
يَوْمَ لا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالأمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
19. (yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.
Kandungan Surah Al-infitar
Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah dan diturunkan sesudah surat An Naazi'aat. Al Infithaar yang dijadikan nama untuk surat ini adalah kata asal dari kata Infatharat (terbelah) yang terdapat pada ayat pertama.
Pokok-pokok isinya:
- Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari kiamat
- peringatan kepada manusia agar tidak terpedaya sehingga durhaka kepada Allah
- adanya malaikat yang selalu menjaga dan mencatat segala amal perbuatan manusia
- pada hari kiamat manusia tak dapat menolong orang lain
- hanya kekuasaan Allah-lah yang berlaku pada waktu itu.
Surat Al Infithaar ini menggambarkan kejadian-kejadian pada hari kiamat, dan menerangkan keingkaran manusia kepada karunia Allah dan bahwa segala amal perbuatan mereka itu akan mendapat pembalasan.
Asbabun Nuzul Surat al-Infithaar ayat 1-19
“Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.” (Al-Infithoor: 6)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ubay bin Khalaf yang mengingkari hari ba’ts (dibangkitkan dari kubur). Ayat ini merupakan teguran kepada orang yang tidak percaya kepada ketentuan Allah.
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
"Wahai Manusia! Apakah yang memperdayakanmu (berlaku derhaka) kepada Tuhanmu yang Maha Pemurah?" (Surah al Infithaar: 82: 6)
Dalam suatu riwayat ada dikemukakan bahawa ayat di atas turun adalah disebabkan oleh Ubay bin Khalaf yang mengingkari hari kebangkitan semula dari kubur. [Al Qurtubi juz XIX, hal, 245]
Oleh itu penurunan ayat ini adalah sebagai teguran kepada orang yang tidak percaya kepada ketentuan Allah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah)
Tugas :
1. Melafalkan surat abasa
2. Foto sholat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar