Pelajaran 3
Patuh kepada orang tua
Suatu hari ada seorang laki-laki datang
menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Dia bertanya, “Wahai
Rasulullah, aku mempunyai harta kekayaan dan anak. Sementara ayahku
berkeinginan menguasai harta milikku dalam pembelanjaan. Apakah yang demikian
ini benar?” Maka jawab Rasulullah, “Dirimu dan harta kekayaanmu adalah milik
orang tuamu.” (HR. Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah).
Begitulah, syari’at Islam menetapkan betapa
besar hak-hak orang tua atas anaknya. Bukan saja ketika sang anak masih hidup
dalam rengkuhan kedua orang tuanya, bahkan ketika ia sudah berkeluarga dan
hidup mandiri. Tentu saja hak-hak yang agung tersebut sebanding dengan besarnya
jasa dan pengorbanan yang telah mereka berikan. Sehingga tak mengherankan jika
perintah berbakti kepada orang tua menempati ranking ke dua setelah perintah
beribadah kepada Allah dengan mengesakan-Nya.
Allah berfirman (artinya) “Dan sembahlah Allah
dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada ibu bapakmu.” (QS. An-Nisa:36).
Sebagai anak, sebenarnya banyak hal yang dapat kita
lakukan untuk mengekspresikan rasa bakti dan hormat kita kepada kedua orang
tua. Memandang dengan rasa kasih sayang dan bersikap lemah lembut kepada mereka
pun termasuk birrul walidain.
Allah berfirman (artinya), “Dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kasih sayang.” (QS. Al-Isra’:23). Dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Bukhari
mengetengahkan sebuah riwayat bersumber dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir
melalui Urwah, yang menjelaskan mengenai firman Allah: “Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” Maka Urwah menerangkan bahwa
kita seharusnya tunduk patuh di hadapan kedua orang tua sebagaimana seorang
hamba sahaya tunduk patuh di hadapan majikan yang garang, bengis, lagi kasar.
Pada suatu ketika, ada seorang laki-laki datang menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia bersama seorang laki-laki lanjut
usia. Rasulullah bertanya, “Siapakah orang yang bersamamu?” Maka jawab
laki-laki itu, “Ini ayahku”. Rasulullah kemudian bersabda, “Janganlah kamu
berjalan di depannya, janganlah kamu duduk sebelum dia duduk, dan janganlah
kamu memanggil namanya dengan sembarangan serta janganlah kamu menjadi penyebab
dia mendapat cacian dari orang lain.” (Imam Ath-Thabari dalam kitab Al-Ausath).
Berbakti kepada orang tua tak terbatas ketika mereka
masih hidup, tetapi bisa dilakukan setelah mereka wafat. Hal itu pernah
ditanyakan oleh seorang sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka Rasulullah menjawab, “Yakni dengan mengirim doa (mendo’akan) dan
memohonkan ampunan. Menepati janji dan nadzar yang pernah diikrarkan kedua
orang tua, memelihara hubungan silaturahim sera memuliakan kawan dan kerabat
orang taumu.” Demikian Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban
meriwayatkannya bersumber dari Abu Asid Malik bin Rabi’ah Ash-Sha’id.
a.
Tolong
Menolong
”Dan tolong-menolong lah kamu dalam
kebaikan dan ketakwaan. Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwa lah kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah
sangat berat."
Tidak heran, perintah tolong-menolong dalam
agama ini kerap direpresentasikan dalam aksi kepedulian. Tak sedikit misalnya,
di Indonesia, hadirnya lembaga-lembaga filantropi juga diusung oleh semangat
kepedulian dan sikap tolong-menolong yang tinggi.Budaya gotong-royong dan turut
serta mengulurkan bantuan dalam Islam diterapkan di banyak lini. Tak terkecuali
dalam unsur aspek ekonomi syariah. Di mana kepedulian dalam perkara
perekonomian juga ditonjolkan dengan berhati-hati dalam mengambil langkah
ekonomi agar tak merugikan atau menzhalimi ekosistem dan masyarakatnya.
Padahal sejatinya sikap memberi itu tak sama
sekali merugi. Asalkan nilai pemberian itu dilandasi dengan ketulusan,
keikhlasan, dan juga keimanan. Membantu dalam kebaikan—seberapapun besar dan
kecil nilainya—akan terasa ringan apabila dilakukan dengan tulus dan ikhlas.
Umat Islam juga kerap dikenalkan sejak dini
mengenai filosofi kepemilikan. Bahwa sejatinya apa-apa yang kita miliki di
dunia, baik itu yang berbentuk wujud jasmani hingga materi, semata-mata adalah
titipan Allah SWT. Dengan titipan itu, manusia dimintai pertanggung jawabannya
kelak di akhirat.
Dengan menyadari bahwa apa yang kita miliki
hanyalah titipan Allah semata, maka budaya saling berbagi dan peduli dalam
Islam pun begitu kuat. Bahkan dalam hadis, Rasulullah berkata bahwa siapa yang
melapangkan suatu kesusahan dunia dari seorang Muslim, maka Allah akan
melapangkan satu kesusahan dirinya di hari kiamat.
Tugas :
1. Memberikan contoh membantu orang tua di rumah (foto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar