Pelajaran 2
Pentingnya saling menghargai
A.
Surat Al Humazah Dan Kandungannya
يۡلٌ لِّـكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةِ
1. Celakalah bagi setiap
pengumpat dan pencela,
اۨلَّذِىۡ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗ
2. yang mengumpulkan harta
dan menghitung-hitungnya
يَحۡسَبُ اَنَّ مَالَهٗۤ اَخۡلَدَهٗ
3. dia (manusia) mengira
bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.
كَلَّا لَيُنۡۢبَذَنَّ فِى الۡحُطَمَةِ
4. Sekali-kali tidak! Pasti
dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hu¯amah.
وَمَاۤ اَدۡرٰٮكَ مَا الۡحُطَمَةُ
5. Dan tahukah kamu apakah
(neraka) Hu¯amah itu?
نَارُ اللّٰهِ الۡمُوۡقَدَةُ
6. (Yaitu) api (azab) Allah
yang dinyalakan,
الَّتِىۡ تَطَّلِعُ عَلَى الۡاَفۡـــِٕدَةِ
7. yang (membakar) sampai ke
hati.
اِنَّهَا عَلَيۡهِمۡ مُّؤۡصَدَةٌ
8. Sungguh, api itu ditutup
rapat atas (diri) mereka,
فِىۡ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
9. (sedang mereka itu) diikat
pada tiang-tiang yang panjang.
Kandungan surat al humazah
Al-hammas berarti orang yang
melakukan umpatan dalam bentuk ucapan, sedangkan al-lammaz berarti orang yang
melancarkan celaan dalam bentuk perbuatan. Artinya, merendahkan dan menilai
orang lain kurang. Dan penjelasan mengenai hal ini telah diberikan sebelumnya
yakni pada firman Allah Ta’ala: hammaaazim masy-syaa-im binamiim (“Yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.”) (al-Qalam: 11). Ibnu ‘Abbas
mengatakan: “Humazatillumazah berarti orang yang suka mencela dan menilai cacat
orang lain.” Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan: “Al Humazah berarti melakukan
pengumpatan di hadapannya, sedangkan al-lumazah adalah celaan yang dilakukan di
belakang.” Qatadah mengatakan: “Al-Humazah dan al-lumazah itu adalah dengan lidah dan matanya serta
memakan daging orang lain dan melontarkan celaan kepada mereka.” Lebih lanjut,
sebagian dari mereka mengatakan: “(Orang) yang dimaksud dengan hal tersebut
adalah al-Akhnas bin Syuraiq.” Dan ada juga yang mengatakan selainnya. Mujahid
mengatakan: “Ia bersifat umum.”
Firman Allah Ta’ala: alladzii
jama’a maalaw wa’addadah (“Yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung.”)
Yakni mengumpulkan sebagian hartanya dengan sebagian lainnya seraya menghitung
jumlahnya. Yang demikian itu seperti firman-Nya yang lain: wa jama’a fa-au’aa
(“Serta mengumpulkan [harta benda] lalu
menyimpannya.”) (al-Ma’aarij:
18). Demikian yang dikemukakan oleh as-Suddi dan Ibnu Jarir.
Dan mengenai firman-Nya:
alladzii jama’a maalaw wa’addadah (“Yang mengumpulkan harta lagi
menghitung-hitung.”) Muhammad bin Ka’ab mengatakan: “Hartanya membuatnya lalai
pada siang hari, yang ini sampai kepada yang lain. Dan jika malam tiba ia
teronggok seperti bangkai busuk.”
Firman-Nya: yahsabu anna
maalahuu akhladah (“Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.”)
maksudnya dia menduga bahwa pengumpulan harta yang dia lakukan dapat
menjadikannya hidup kekal di dunia ini. Kallaa (“Sekali-sekali tidak.”) yakni
masalahnya tidak seperti diakui dan dikira. Kemudian Dia berfirman:
layumbadzanna fil huthamah (“Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke
dalam Huthamah”) yakni, orang yang mengumpulkan dan menghitung-hitung hartanya
itu akan diceburkan ke dalam Huthamah, yakni salah satu nama neraka. Disebut
demikian karena neraka itu menghancurkan penghuninya. Oleh karena itu Dia
berfirman:
Wa maa adraaka mal huthamah,
naarullaahil muuqadah, allatii taththali’u ‘alal af-idah (“Dan tahukah kamu apa
Huthamah itu? Yaitu api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang
(membakar) sampai ke hati.” Tsabit al-Bannani mengatakan: “Api membakar mereka
sampai ke dalam hati, sedang ketika itu mereka dalam keadaan hidup.” Kemudia
dia mengatakan: “Adzab itu sudah ada yang menimpa beberapa orang dari mereka.”
Dan setelah itu dia menangis. Muhammad bin Ka’ab mengatakan: “Api itu memakan
segala sesuatu dari tubuhnya sehingga ketika api sampai di hatinya mendekati
tenggorokannya, api itu kembali ke jasadnya.”
Firman Allah Ta’ala: fii
‘amadim mumaddadah (“Sedang mereka itu diikat pada tiang-tiang yang panjang.”)
‘Athiyyahal-‘Aufi mengatakan: “Yakni tiang-tiang yang terbuat dari besi.”
As-Suddi mengatakan: “Yakni berasal dari api.” Syabib bin Bisyir meriwayatkan
dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas: fii ‘amadim mumaddadah (“Sedang mereka itu
diikat pada tiang-tiang yang panjang.”) yakni pintu-pintunya yang panjang.
B.
Adab bertamu dan memuliakan tamu
1.
Adab bertamu
a.
Mencari waktu
yang tepat untuk bertamu
b.
Mengetuk
pintu tiga kali
c.
Mengucapkan
salam ketika masuk rumah
d.
Jangan duduk
jika tidak dipersilahkan
e.
Menjaga
pandangan, jangan sampai kita melihat se isi rumah
f.
Menjaga
kesopanan pasa waktu duduk
2.
Adab menerima
tamu
a.
Setiap
menerima tamu harus bersikap ramah
b.
Memperbanyak
senyum dan menunjukan wajah bahagia
c.
Mempersilahkan
duduk ada tamu
d.
Memberikan
suguhan sewajarnya tanpa terkesan paksaan
e.
Memperlihatkan
sikap bersahabat
C.
Sikap wajib
dan mustahil Allah
D.
Rukun dan syarat sah Puasa
Ramadhan
Setiap ibadah dalam agama
Islam, termasuk puasa Ramadhan, dianggap sah jika sudah terpenuhi syarat dan
rukunnya. Puasa Ramadan memiliki lima syarat wajib dan dua rukun yang harus
tuntas dipenuhi untuk dapat dianggap sah.
Kewajiban puasa merupakan
salah satu dari rukun Islam yang wajib ditunaikan setiap muslim dan muslimah
yang telah memenuhi syarat.
Perintah puasa termaktub
dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: "Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Selain itu, puasa juga
termasuk ibadah dengan keutamaan yang istimewa. Dalam salah satu hadis qudsi
diterangkan, bahwa setiap amal kebaikan manusia akan dilipatgandakan dengan 10
kebaikan yang semisal hingga 700 kali lipat, kecuali amal puasa. Allah
berfirman, "Puasa tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya
karena ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku," (HR.
Muslim).
Syarat Wajib Puasa Ramadhan
Syarat wajib adalah ketentuan
yang mesti dipenuhi seorang muslim sebelum melaksanakan suatu ibadah. Orang
yang belum memenuhi syarat wajib puasa, maka kewajiban puasanya gugur dan ia
tidak diharuskan menjalankan puasa.
Agus Arifin dalam buku Step
By Step Fiqih Puasa (2013: 87-88) menuliskan beberapa syarat wajib puasa
sebagai berikut:
1. Bertatus muslim
Karena puasa termasuk rukun
Islam, hanya orang muslim dan muslimah yang wajib menunaikan ibadah puasa. Jika
seseorang murtad, keluar dari Islam, kewajiban puasa baginya gugur dan ia tidak
memenuhi syarat wajib puasa.
Syarat keislaman ini
dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin 'Umar bin Khattab Ra
yang berkata: saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: "Islam didirikan
dengan 5 hal, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah
utusan-Nya, didirikannya sholat, dikeluarkannya zakat, dikerjakannya haji di
Baitullah [Ka’bah], dan dikerjakannya puasa di bulan Ramadan,” (HR. Bukhari dan
Muslim).
2. Balig atau mencapai masa
pubertas
Syarat wajib puasa yang kedua
ialah telah mencapai status balig atau pubertas. Bagi laki-laki, ia ditandai
dengan keluarnya sperma dari kemaluannya, baik dalam keadaan tidur ataupun
terjaga. Sementara itu, bagi perempuan, status balig ditandai dengan menstruasi.
Dalam uraian "Syarat
Wajib dan Rukun Puasa Ramadhan" yang ditulis Ustaz Syaifullah Amin syarat
keluar mani pada laki-laki dan haid pada perempuan ada di batas usia minimal 9
tahun. Di sisi lain, bagi laki-laki dan perempuan yang belum keluar sperma dan
belum menstruasi, batas minimal dikatakan balig jatuh pada usia 15 tahun dari
usia kelahiran.
3. Berakal sehat
Syarat wajib puasa yang
ketiga bagi seorang muslim dan balig, adalah ia harus memiliki akal yang sehat,
sempurna, dan tidak gila. Selain itu, ia juga tidak mengalami gangguan mental
dan tidak hilang kesadarannya karena mabuk.
Seorang muslim yang mabuk
tidak terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa. Namun, terdapat
pengecualian pada orang mabuk dengan sengaja, misalnya karena konsumsi minuman
keras. Jika sengaja mabuk, ia wajib mengganti (qadha) puasanya di hari selain
bulan Ramadan.
Syarat kebalig-an dan akal
sehat ini bersandar pada sabda Nabi Muhammad SAW: "Tiga golongan yang
tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur sapai ia terbangun, orang yang
gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh,” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad).
4. Kemampuan menunaikan puasa
Setelah terpenuhi tiga syarat
wajib di atas, yang keempat ialah kemampuan menjalankan ibadah puasa. Jika
seorang muslim tidak mampu menjalankan puasa karena sebab tertentu, ia
diwajibkan mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah.
Ketidakmampuan berpuasa ini
bisa terjadi karena perjalanan yang memberatkan (musafir), sakit, hamil dan
menyusui, dan berusia sangat tua atau sudah renta.
5. Mengetahui awal Ramadan
Syarat wajib yang terakhir
adalah mengetahui awal Ramadan dan hari pertama puasa hingga sebulan penuh.
Rukun Puasa Rmadhan
1. Niat puasa
Niat adalah penegasan status
fardu dari ibadah puasa Ramadhan. Hal ini menunjukkan kejelasan adanya ibadah,
bukan hanya sekadar kehendak menunaikannya. Menurut ulama Mazhab Syafi'i,
setiap orang yang hendak berpuasa disunahkan untuk melafalkan bacaan niatnya.
Bacaan niat puasa Ramadan
adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Bacaan latinnya:
"Nawaitu sauma ghadin an'adai fardi syahri ramadhani hadzihisanati
lillahita'ala"
Artinya: "Saya niat
berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadan tahun ini, karena
Allah Ta'ala."
2. Menahan diri dari
pembatal-pembatal puasa
Rukun kedua dalam ibadah
puasa sebagaimana definisinya, yakni menahan diri dari segala hal yang dapat
membatalkan sejak terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu
magrib) dengan niat karena Allah SWT.
Terdapat beberapa hal yang
membatalkan puasa, seperti makan-minum, hubungan suami-istri di siang hari,
muntah disengaja, keluar mani disengaja, haid, nifas, serta murtad keluar dari
Islam.
Tugas :
1.
Melafalkan
surat Al Humazah (Video)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar